Resensi
The Lean Startup
Eric Ries
Bentang Pustaka
Dari pada kerja kantoran yang membosankan, banyak lulusan universitas
memutuskan untuk membangun sebuah startup. Namun, bukannya baik, kebanyakan
startup malah dirudung oleh ribuan masalah yang tak terselesaikan, hingga
banyak dari mereka yang berujung pailit. Eric Ries melalui bukunya “The Lean
Startup” mencoba mengulas apa saja penyebab kebanyakan startup gagal dan
memperkenalkan metode Lean Startup
sebagai solusinya.
Indikator Kinerja
Menurut Ries, kebanyakan startup seringkali salah menentukan indikator
kerja. Sehingga, mereka seolah sudah sukses dan merasa berhasil. Padahal,
mereka sejatinya belum melakukan apa – apa. Sudah dikerjakan dengan sepenuh
hati, tapi tak tahu mau kemana arahnya. Hal semacam ini tentu hanya memboroskan
sumber daya, baik finansial maupun manusianya.
“Mulailah mempertanyakan indikator keberhasilan. Apakah masih relevan?
Bagaimana jika ternyata kita membuat sesuatu yang tidak diinginkan siapapun?”
begitu tanya Ries dalam bukunya. Startup diwajibkan untuk tau kemana arahnya,
dan gunakan indikator yang sedemikian representatif untuk mengukur pertumbuhan.
Contohnya, pertumbuhan pengguna lebih baik digunakan sebagai indikator,
ketimbang jumlah pengguna secara keseluruhan.
Produktif
Tak hanya itu, kebanyakan startup hari ini bekerja dengan batch (pembagian)
yang besar dengan alasan profesionalisme. Pekerjaan diselesaikan sampai tuntas,
baru kemudian dievaluasi oleh rekannya. Menurut mereka, produktivitas diartikan
sebagai seberapa banyak pekerjaan yang dapat dilakukan. Contohnya ketika tim
programmer mengerjakan ratusan ribu baris kode siang malam, tanpa berkonsultasi
dengan tim marketing. Tim programmer mengatakan mereka sudah sangat produktif
dan bangga akan hal tersebut. Namun, pada saat konsultasi, tim marketing
mengatakan bahwa kode harus dirombak ulang karena tidak sesuai dengan keinginan
konsumen.
Padahal, menurut Ries, produktivitas sesungguhnya adalah pembelajaran yang
tervalidasi (validated learning),
yaitu seberapa banyak pekerjaan yang telah terevaluasi oleh tim dan terbukti
bahwa pekerjaannya berguna bagi konsumen dan kelangsungan startup. Jika
menyelesaikan banyak pekerjaan namun tidak dipakai, apakah itu yang dikatakan
produktif? Bukankah itu hanya membuang – buang tenaga? Bagi contoh tim programmer
tadi, mengapa tidak sedikit demi sedikit dikonsultasikan? Tentu, apabila ada
yang salah atau ada yang tidak sesuai keinginan konsumen, langsung diperbaiki,
dan tidak sia-sia waktunya.
Ries juga menganjurkan para pelaku startup untuk menggunakan Kanban Flow,
yaitu alur kerja dibagi kedalam empat bagian seperti yang tertera pada tabel di
bawah.
Backlog
|
Sedang
Dibuat
|
Sudah
Selesai
|
Sedang
Divalidasi
|
A
|
E
|
D
|
C
|
B
|
F
|
||
C
|
Pekerjaan harus dikerjakan berurut dari alur backlog di paling kiri, sampai
sedang divalidasi yang ada di pojok kanan. Semua tim bergerak menyalurkan
keahliannya dan eksekusi tanpa birokrasi. Semua saling terkoneksi satu sama
lain, tak ada divisi sentris. Setiap orang berhak menambahkan backlog atau
mengerjakan backlog sampai proses-proses selanjutnya. Dan, untuk menghindari
adanya penumpukkan pekerjaan, setiap fase tidak boleh lebih dari 3 job.
Sehingga, job-job yang ada harus diselesaikan terlebih dahulu.
Mengelola Modal
Kebanyakan startup hari ini masih kebingungan bagaimana cara mengelola
modal. Berapa yang harus disisihkan untuk meriset pasar, berapa alokasi untuk
membuat produk, semua masih abstrak. Menurut Ries, modal harus dibagi ke dalam
beberapa bagian dan asumsikan bagian tersebut sebagai nyawa dari startup. Misal
suatu startup memiliki Rp 1 juta. Maka, dengan asumsi startup memiliki 10
nyawa, bagilah Rp 1 juta tersebut menjadi sepuluh. Setiap nyawa berharga Rp 100
ribu.
Gunakan nyawa tersebut satu per satu dan lihat perkembangannya. Riset pasar
di awal membutuhkan 2 buah nyawa dan akan terlihat apakah pasar sesungguhnya
membutuhkan aplikasi kita atau tidak. Apabila tidak, aplikasi seperti apa yang
dibutuhkan. Dengan 1 nyawa, berapa banyak pengguna aplikasi yang dapat
dihasilkan? Dan, dengan 1 nyawa tambahan lagi, seberapa pesat pertumbuhan
pengguna? Jika tidak bertumbuh, apakah sebaiknya kita banting setir membuat
produk yang jelas laku di pasar? Teknik ini diambil dari pengalaman Ries bahwa
startup terkadang melakukan banting setir ditengah jalan, ketika mengetahui
produknya tidak dibutuhkan di pasar.
Riset Eksperimen
Kebanyakan startup hari ini juga masih mengandalkan riset pasar metode
kuantitatif (dengan menggunakan skala likert dan menanyakan para responden untuk
mengisi survey). Skala likert ini dijadikan acuan untuk pengambilan keputusan
riset pasar. Padahal, metode kuantitatif tidak selalu benar dan responden yang
ditanyakan bisa jadi bukan target konsumen kita sesungguhnya. “Jangan cari
konsumen biasa, carilah konsumen yang paling membutuhkan,” begitu ujar Ries
dalam The Lean Startup.
Menurut Ries, startup juga harus menggabungkan dengan metode kualitatif,
terutama eksperimen. Dalam bukunya, startup yang dikelola Ries bahkan sampai
meminta izin seseorang untuk diperbolehkan membantu orang tersebut selama
sebulan penuh untuk melihat bagaimana pola hidup manusia di jaman sekarang.
Tanpa menggunakan survey, tim startup Ries (bernama IMVU) mencoba merasakan
sendiri dan memperkirakan apa aplikasi yang paling membantu dalam kehidupan
sehari – hari.
MVP dan Akuntansi Inovasi
Kata Minimum Viable Product sudah cukup lazim di para penggiat startup,
namun, belum banyak yang paham akan konsep tersebut. Menurut Ries, MVP adalah
suatu produk yang hanya terdiri dari satu
fungsi yang sesuai dengan kebutuhan
konsumen dan dibuat hanya dengan sesedikit
mungkin “nyawa” modal. Pengembangan MVP ini nantinya akan diukur dalam
suatu platform bernama akuntansi inovasi.
Dalam implementasi The Lean Startup, pastikan sebuah MVP dapat menjawab
semua pertanyaan berikut ini dengan “Ya!” :
- · Apakah para konsumen sadar bahwa mereka menghadapi masalah yang ingin kita pecahkan?
- · Jika tersedia solusi, akankah mereka membelinya?
- · Akankah mereka membelinya dari kita?
- · Bisakah kita membuat solusi untuk masalah itu?
Sebagai contoh, kita mengandaikan memiliki perusahaan startup di bidang
sosial media. Untuk memonitor perkembangan user, kita menggunakan tabel
dibawah.
Kategori
|
User
|
Teregistrasi
|
8000
|
Login
Sekali
|
4000
|
Diaktifkan
|
2000
|
Aktif
|
500
|
Kemudian, dari tabel di atas, kita lakukan sebuah pembelajaran. Tentu,
setiap pembelajaran membutuhkan uang. Ketika dapat uang, startup sering kali
menggunakan semua uang tersebut untuk satu pembelajaran. Padahal, seharusnya, ada
alokasi yang tepat dan bersabarlah, jangan tergesa-gesa. Uang tersebut dibagi menjadi
bagian kecil-kecil. Misalnya, perusahaan mendapatkan $10.000, coba kita pakai $1.000
dulu dan lihatlah bagaimana perkembangan akuntasi inovasinya.
Kategori
|
User
Sebelum
|
User
Setelah
|
Kenaikan
|
Teregistrasi
|
8000
|
9000
|
12.50%
|
Login
Sekali
|
4000
|
4750
|
18.75%
|
Diaktifkan
|
2000
|
2500
|
25.00%
|
Aktif
|
500
|
8000
|
60.00%
|
Dapat kita lihat, dengan $1.000, terjadi kenaikan user aktif 60%. Indikator
ini menandakan pembelajaran yang dilakukan efektif untuk menaikkan kualitas
produk. Sementara, apabila hasil justru menunjukkan user yang teregistrasi
melebihi yang lainnya, pembelajaran tersebut lebih cocok untuk mempenetrasi
pasar.
Selanjutnya coba keluarkan lagi $1.000 nya, dan lihat perkembangannya.
Nanti akan ada di suatu titik dimana perkembangan berada di titik stagnan. Di
saat itu, kita sudah mulai memikirkan apakah kita harus banting stir ke model
bisnis lain atau tidak. Karena, apabila dilanjutkan terus, nantinya modal yang
terpakai akan terbuang sia sia, melihat kondisi startup yang memang memiliki risikonya
tinggi, namun, modal yang terbatas. Jika, ya, maka segaralah membuat indikator
yang baru, riset pasar yang baru, dan MVP yang baru.
Kecepatan
Startup itu bermacam – macam dan persaingan antar mereka begitu ketat.
Menurut Ries, pada umumnya startup memiliki siklus sebagai berikut:
Buat Produk > Ukur Data
> Pelajari Ide > Buat Produk > ...
Siapa yang paling cepat, dia lah pemenangnya. Kebanyakan startup hanya
fokus di membuat produk, tanpa mengetest produk tersebut dengan data. Atau,
justru hanya ukur data, tanpa mempelajari ide apa yang didapat dari data
tersebut.
Konsep 5 Why
Untuk menyelesaikan masalah, coba pakai 5 why. Contoh, ada masalah tisu
toilet abis.
- · Kenapa tisu toilet bisa abis? (Karena mas nya jarang ngisi lagi)
- · Kenapa masnya jarang ngisi? (Karena ga disuruh sama staff bidang umum)
- · Kenapa ga disuruh? (karena staff bidang finance bilang ga ada duitnya)
- · Kenapa staff finance bilang ga ada duitnya? (Karena duitnya diambilin).
Selama lima kali, suatu masalah terus dicari apa penyebabnya. Cara berpikir
seperti ini akan membuat kita mencari akar permasalahan sesungguhnya. Namun,
seringkali, metode seperti ini justru hanya dijadikan alat bagi sebuah divisi
untuk menyalahkan divisi lain (atau, antar staff saling menyalahkan). Dengan
begitu, konsep 5 Why harus tetap
dimonitor oleh paling tidak satu orang yang dianggap cukup bijaksana.
Innovation Sandbox
Tak hanya para direksi, staff juga pasti memiliki ide – ide menarik. Nah,
sandbox ini diadakan untuk menjadi ajang eksperimen para staff. Dalam Sandbox,
setiap staff dari tim manapun boleh masuk. Di sana, mereka akan membuat uji
multivariat sejati dengan komponen tertentu dan segmen pasar tertentu yang
memengaruhi indikator awal. Misalnya, dalam kasus aplikasi GoJek, apakah
kenyamanan user akan meningkat jika harga diturunkan dan fitur messaging di
dalam aplikasi ditambahkan. Mana yang lebih berpengaruh, harga atau fitur
messaging? Dan, segmen pasar mana yang mengalami kenyamanan? Bapak – bapak,
anak muda saja, atau semua kalangan?
Untuk mengukurnya secara jelas, setiap eksperimen memiliki jangka waktu dan
harus dilakukan dari awal sampe akhir, juga ada batas jumlah konsumen yang
ingin dipengaruhi. Contoh dalam kasus aplikasi Gojek tadi, didapati bahwa 200
bapak – bapak mengalami kenyamanan
dengan adanya fitur messaging. Sehingga, kita bisa memperkirakan apabila fitur
messaging diaplikasikan, akan ada 200 bapak – bapak terus menerus menggunakan
aplikasi GoJek.
Laporannya harus dirangkum dan mempropose beberapa indikator kerja
rekomendasi (<10). Misal, setelah kita menemukan fakta 200 bapak – bapak
tadi, kita menemukan fakta bahwa jumlah bapak – bapak menjadi tolak ukur bagi
functionality sebuah fitur messaging. Semakin banyak bapak – bapak yang merasa
nyaman, maka semakin berguna aplikasi messaging tersebut. Tak lupa, selama
eksperimen berlangsung, apapun feedback dari konsumen yang dipengaruhi harus
ditanggapi oleh tim tersebut.
Intinya
Startup juga dianjurkan
untuk mengimplementasikan lean startup, yaitu bekerja dengan sistem batch kecil
dengan pembelajaran tervalidasi (mengetahui keinginan konsumen sesungguhnya
dengan merasakan betul-betul kehidupannya). Pembelajaran tersebut diukur dalam akuntansi
inovasi, dan dari sana kita harus menentukan apakah kita harus banting setir
atau tidak. Itu dari segi strategi perusahaan. Dan dari segi teknis, pakailah
strategi kanban dan selalu terbuka pada sistem extendable sandbox, juga
adakanlah strategi 5 Why untuk evaluasi masalah yang muncul