Jumat, November 2

The Lean Startup - Bagaimana Seharusnya Startup Bekerja?


Resensi
The Lean Startup
Eric Ries

Bentang Pustaka
Dari pada kerja kantoran yang membosankan, banyak lulusan universitas memutuskan untuk membangun sebuah startup. Namun, bukannya baik, kebanyakan startup malah dirudung oleh ribuan masalah yang tak terselesaikan, hingga banyak dari mereka yang berujung pailit. Eric Ries melalui bukunya “The Lean Startup” mencoba mengulas apa saja penyebab kebanyakan startup gagal dan memperkenalkan metode Lean Startup sebagai solusinya.

Indikator Kinerja
Menurut Ries, kebanyakan startup seringkali salah menentukan indikator kerja. Sehingga, mereka seolah sudah sukses dan merasa berhasil. Padahal, mereka sejatinya belum melakukan apa – apa. Sudah dikerjakan dengan sepenuh hati, tapi tak tahu mau kemana arahnya. Hal semacam ini tentu hanya memboroskan sumber daya, baik finansial maupun manusianya.

“Mulailah mempertanyakan indikator keberhasilan. Apakah masih relevan? Bagaimana jika ternyata kita membuat sesuatu yang tidak diinginkan siapapun?” begitu tanya Ries dalam bukunya. Startup diwajibkan untuk tau kemana arahnya, dan gunakan indikator yang sedemikian representatif untuk mengukur pertumbuhan. Contohnya, pertumbuhan pengguna lebih baik digunakan sebagai indikator, ketimbang jumlah pengguna secara keseluruhan.

Produktif
Tak hanya itu, kebanyakan startup hari ini bekerja dengan batch (pembagian) yang besar dengan alasan profesionalisme. Pekerjaan diselesaikan sampai tuntas, baru kemudian dievaluasi oleh rekannya. Menurut mereka, produktivitas diartikan sebagai seberapa banyak pekerjaan yang dapat dilakukan. Contohnya ketika tim programmer mengerjakan ratusan ribu baris kode siang malam, tanpa berkonsultasi dengan tim marketing. Tim programmer mengatakan mereka sudah sangat produktif dan bangga akan hal tersebut. Namun, pada saat konsultasi, tim marketing mengatakan bahwa kode harus dirombak ulang karena tidak sesuai dengan keinginan konsumen.

Padahal, menurut Ries, produktivitas sesungguhnya adalah pembelajaran yang tervalidasi (validated learning), yaitu seberapa banyak pekerjaan yang telah terevaluasi oleh tim dan terbukti bahwa pekerjaannya berguna bagi konsumen dan kelangsungan startup. Jika menyelesaikan banyak pekerjaan namun tidak dipakai, apakah itu yang dikatakan produktif? Bukankah itu hanya membuang – buang tenaga? Bagi contoh tim programmer tadi, mengapa tidak sedikit demi sedikit dikonsultasikan? Tentu, apabila ada yang salah atau ada yang tidak sesuai keinginan konsumen, langsung diperbaiki, dan tidak sia-sia waktunya.

Ries juga menganjurkan para pelaku startup untuk menggunakan Kanban Flow, yaitu alur kerja dibagi kedalam empat bagian seperti yang tertera pada tabel di bawah.
Backlog
Sedang Dibuat
Sudah Selesai
Sedang Divalidasi
A
E
D
C
B
F


C




Pekerjaan harus dikerjakan berurut dari alur backlog di paling kiri, sampai sedang divalidasi yang ada di pojok kanan. Semua tim bergerak menyalurkan keahliannya dan eksekusi tanpa birokrasi. Semua saling terkoneksi satu sama lain, tak ada divisi sentris. Setiap orang berhak menambahkan backlog atau mengerjakan backlog sampai proses-proses selanjutnya. Dan, untuk menghindari adanya penumpukkan pekerjaan, setiap fase tidak boleh lebih dari 3 job. Sehingga, job-job yang ada harus diselesaikan terlebih dahulu.

Mengelola Modal
Kebanyakan startup hari ini masih kebingungan bagaimana cara mengelola modal. Berapa yang harus disisihkan untuk meriset pasar, berapa alokasi untuk membuat produk, semua masih abstrak. Menurut Ries, modal harus dibagi ke dalam beberapa bagian dan asumsikan bagian tersebut sebagai nyawa dari startup. Misal suatu startup memiliki Rp 1 juta. Maka, dengan asumsi startup memiliki 10 nyawa, bagilah Rp 1 juta tersebut menjadi sepuluh. Setiap nyawa berharga Rp 100 ribu.

Gunakan nyawa tersebut satu per satu dan lihat perkembangannya. Riset pasar di awal membutuhkan 2 buah nyawa dan akan terlihat apakah pasar sesungguhnya membutuhkan aplikasi kita atau tidak. Apabila tidak, aplikasi seperti apa yang dibutuhkan. Dengan 1 nyawa, berapa banyak pengguna aplikasi yang dapat dihasilkan? Dan, dengan 1 nyawa tambahan lagi, seberapa pesat pertumbuhan pengguna? Jika tidak bertumbuh, apakah sebaiknya kita banting setir membuat produk yang jelas laku di pasar? Teknik ini diambil dari pengalaman Ries bahwa startup terkadang melakukan banting setir ditengah jalan, ketika mengetahui produknya tidak dibutuhkan di pasar.

Riset Eksperimen
Kebanyakan startup hari ini juga masih mengandalkan riset pasar metode kuantitatif (dengan menggunakan skala likert dan menanyakan para responden untuk mengisi survey). Skala likert ini dijadikan acuan untuk pengambilan keputusan riset pasar. Padahal, metode kuantitatif tidak selalu benar dan responden yang ditanyakan bisa jadi bukan target konsumen kita sesungguhnya. “Jangan cari konsumen biasa, carilah konsumen yang paling membutuhkan,” begitu ujar Ries dalam The Lean Startup.

Menurut Ries, startup juga harus menggabungkan dengan metode kualitatif, terutama eksperimen. Dalam bukunya, startup yang dikelola Ries bahkan sampai meminta izin seseorang untuk diperbolehkan membantu orang tersebut selama sebulan penuh untuk melihat bagaimana pola hidup manusia di jaman sekarang. Tanpa menggunakan survey, tim startup Ries (bernama IMVU) mencoba merasakan sendiri dan memperkirakan apa aplikasi yang paling membantu dalam kehidupan sehari – hari.

MVP dan Akuntansi Inovasi
Kata Minimum Viable Product sudah cukup lazim di para penggiat startup, namun, belum banyak yang paham akan konsep tersebut. Menurut Ries, MVP adalah suatu produk yang hanya terdiri dari satu fungsi yang sesuai dengan kebutuhan konsumen dan dibuat hanya dengan sesedikit mungkin “nyawa” modal. Pengembangan MVP ini nantinya akan diukur dalam suatu platform bernama akuntansi inovasi.

Dalam implementasi The Lean Startup, pastikan sebuah MVP dapat menjawab semua pertanyaan berikut ini dengan “Ya!” :
  • ·         Apakah para konsumen sadar bahwa mereka menghadapi masalah yang ingin kita pecahkan?
  • ·         Jika tersedia solusi, akankah mereka membelinya?
  • ·         Akankah mereka membelinya dari kita?
  • ·         Bisakah kita membuat solusi untuk masalah itu?

Sebagai contoh, kita mengandaikan memiliki perusahaan startup di bidang sosial media. Untuk memonitor perkembangan user, kita menggunakan tabel dibawah.
Kategori
User
Teregistrasi
8000
Login Sekali
4000
Diaktifkan
2000
Aktif
500

Kemudian, dari tabel di atas, kita lakukan sebuah pembelajaran. Tentu, setiap pembelajaran membutuhkan uang. Ketika dapat uang, startup sering kali menggunakan semua uang tersebut untuk satu pembelajaran. Padahal, seharusnya, ada alokasi yang tepat dan bersabarlah, jangan tergesa-gesa. Uang tersebut dibagi menjadi bagian kecil-kecil. Misalnya, perusahaan mendapatkan $10.000, coba kita pakai $1.000 dulu dan lihatlah bagaimana perkembangan akuntasi inovasinya.
Kategori
User Sebelum
User Setelah
Kenaikan
Teregistrasi
8000
9000
12.50%
Login Sekali
4000
4750
18.75%
Diaktifkan
2000
2500
25.00%
Aktif
500
8000
60.00%

Dapat kita lihat, dengan $1.000, terjadi kenaikan user aktif 60%. Indikator ini menandakan pembelajaran yang dilakukan efektif untuk menaikkan kualitas produk. Sementara, apabila hasil justru menunjukkan user yang teregistrasi melebihi yang lainnya, pembelajaran tersebut lebih cocok untuk mempenetrasi pasar.

Selanjutnya coba keluarkan lagi $1.000 nya, dan lihat perkembangannya. Nanti akan ada di suatu titik dimana perkembangan berada di titik stagnan. Di saat itu, kita sudah mulai memikirkan apakah kita harus banting stir ke model bisnis lain atau tidak. Karena, apabila dilanjutkan terus, nantinya modal yang terpakai akan terbuang sia sia, melihat kondisi startup yang memang memiliki risikonya tinggi, namun, modal yang terbatas. Jika, ya, maka segaralah membuat indikator yang baru, riset pasar yang baru, dan MVP yang baru.

Kecepatan
Startup itu bermacam – macam dan persaingan antar mereka begitu ketat. Menurut Ries, pada umumnya startup memiliki siklus sebagai berikut:
Buat Produk > Ukur Data > Pelajari Ide > Buat Produk > ...
Siapa yang paling cepat, dia lah pemenangnya. Kebanyakan startup hanya fokus di membuat produk, tanpa mengetest produk tersebut dengan data. Atau, justru hanya ukur data, tanpa mempelajari ide apa yang didapat dari data tersebut.

Konsep 5 Why
Untuk menyelesaikan masalah, coba pakai 5 why. Contoh, ada masalah tisu toilet abis.
  • ·         Kenapa tisu toilet bisa abis? (Karena mas nya jarang ngisi lagi)
  • ·         Kenapa masnya jarang ngisi? (Karena ga disuruh sama staff bidang umum)
  • ·         Kenapa ga disuruh? (karena staff bidang finance bilang ga ada duitnya)
  • ·         Kenapa staff finance bilang ga ada duitnya? (Karena duitnya diambilin).

Selama lima kali, suatu masalah terus dicari apa penyebabnya. Cara berpikir seperti ini akan membuat kita mencari akar permasalahan sesungguhnya. Namun, seringkali, metode seperti ini justru hanya dijadikan alat bagi sebuah divisi untuk menyalahkan divisi lain (atau, antar staff saling menyalahkan). Dengan begitu, konsep 5 Why harus tetap dimonitor oleh paling tidak satu orang yang dianggap cukup bijaksana.

Innovation Sandbox
Tak hanya para direksi, staff juga pasti memiliki ide – ide menarik. Nah, sandbox ini diadakan untuk menjadi ajang eksperimen para staff. Dalam Sandbox, setiap staff dari tim manapun boleh masuk. Di sana, mereka akan membuat uji multivariat sejati dengan komponen tertentu dan segmen pasar tertentu yang memengaruhi indikator awal. Misalnya, dalam kasus aplikasi GoJek, apakah kenyamanan user akan meningkat jika harga diturunkan dan fitur messaging di dalam aplikasi ditambahkan. Mana yang lebih berpengaruh, harga atau fitur messaging? Dan, segmen pasar mana yang mengalami kenyamanan? Bapak – bapak, anak muda saja, atau semua kalangan?

Untuk mengukurnya secara jelas, setiap eksperimen memiliki jangka waktu dan harus dilakukan dari awal sampe akhir, juga ada batas jumlah konsumen yang ingin dipengaruhi. Contoh dalam kasus aplikasi Gojek tadi, didapati bahwa 200 bapak – bapak  mengalami kenyamanan dengan adanya fitur messaging. Sehingga, kita bisa memperkirakan apabila fitur messaging diaplikasikan, akan ada 200 bapak – bapak terus menerus menggunakan aplikasi GoJek.

Laporannya harus dirangkum dan mempropose beberapa indikator kerja rekomendasi (<10). Misal, setelah kita menemukan fakta 200 bapak – bapak tadi, kita menemukan fakta bahwa jumlah bapak – bapak menjadi tolak ukur bagi functionality sebuah fitur messaging. Semakin banyak bapak – bapak yang merasa nyaman, maka semakin berguna aplikasi messaging tersebut. Tak lupa, selama eksperimen berlangsung, apapun feedback dari konsumen yang dipengaruhi harus ditanggapi oleh tim tersebut.

Intinya
Startup juga dianjurkan untuk mengimplementasikan lean startup, yaitu bekerja dengan sistem batch kecil dengan pembelajaran tervalidasi (mengetahui keinginan konsumen sesungguhnya dengan merasakan betul-betul kehidupannya).  Pembelajaran tersebut diukur dalam akuntansi inovasi, dan dari sana kita harus menentukan apakah kita harus banting setir atau tidak. Itu dari segi strategi perusahaan. Dan dari segi teknis, pakailah strategi kanban dan selalu terbuka pada sistem extendable sandbox, juga adakanlah strategi 5 Why untuk evaluasi masalah yang muncul

Contagious - Menjawab Bagaimana Cara Membuat Tren?


Contagious – Menjawab Bagaimana Cara Membuat Tren

Sebuah karya unik kembali ditelurkan oleh Jonah Berger. Dengan Contagious-nya mengajarkan bahwa kita harus memanfaatkan getok tular dan gebrakan baru. Buku yang didominasi cover oranye tersebut memang seolah membuka pandangan kita akan dunia pemasaran. Bahkan, untuk mereka yang tidak pernah terjun ke dunia itu sekalipun.

Membuat Tren
Contagious diawali dengan pengantar tentang teori STEPPS yang seringkali dibahas dalam buku teks pemasaran kuliahan. Lalu apa bedanya buku ini dengan buku kuliahan? Tentu, Jonah Berger tak hanya murni mengupas STEPPS. Banyak hal yang dikupas dalam karya uniknya tersebut. Salah satunya adalah tentang bagaimana cara sebuah tren itu diciptakan. Menurut Berger, tren diciptakan dari status siaga fisik yang dibagikan. Siaga fisik tersebut diperoleh dari konten yang mengandung akurasi dan emosi. Proporsi antar keduanya pun harus pas. Konten yang hanya berisi emosi hanya akan berujung layaknya pemberitaan Line Today yang dipenuhi bumbu. Memang, akan menghasilkan tren, namun jangka pendek. Pesan tidak akan bertahan lama. Terlebih, masyarakat Indonesia kini pun semakin rasional. Sebaliknya, konten tak beremosi yang dipenuhi oleh akurasi data akan tampak membosankan untuk dibaca. Konten memang bagus. Namun, tak ada yang membaca.
Kemudian. bagaimana proporsi yang tepat, antara emosi dan akurasi konten agar banyak yang membaca? Menurut Berger, kita harus melihat kembali ke segmen pasarnya. Jika memang kombinasinya tepat dan menyasar pada segmen yang tepat, maka secara alami pesan yang kita sampaikan akan mewabah.
Berdasarkan pengamatan subjektif saya, ibu-ibu akan cenderung lebih membaca konten yang mengandung emosi. Entah mengapa, ibu saya suka sekali membaca Line Today. Kontennya dipenuhi dengan bumbu, beserta judul yang membuat jempol geram untuk menekan. Sementara, seorang ayah akan cenderung melihat akurasi data dalam menimbang mana informasi yang terpercaya. Terlihat dari broadcast message yang sering ia bagikan di grup Whatsapp keluarga, pasti ada data penelitian yang mendukung pesannya.
Lain hal dengan ayah dan ibu, masyarakat juga terbagi ke beberapa segmen lain. Begitu pula dengan racikannya. Berbeda segmen, berbeda pula proporsi konten dan emosinya. Kaum penyuka Jepang (Wibu) akan menyukai visual berbau kekanak-kanakkan. Sementara kaum Punk, menyukai konten yang mengisyaratkan keberanian.

Siklus
Terlepas dari proporsi, Jonah Berger juga menyebutkan jenis konten harus memperhatikan siklusnya:

Residu sosial > Generalitas > Bukti Sosial

Residu sosial berkaitan dengan hasil perilaku sosial dan cenderung dijadikan bukti. Contoh paling relevan dalam fase ini adalah kasus gelang Power Balance yang marak pada 2010 silam. Oleh produsennya, gelang tersebut sengaja dibagikan gratis kepada para atlet olimpiade. Praktik ini berhasil membangun pandangan bahwa Power Balance memang terbukti akan khasiatnya. Sehingga, digunakan oleh para atlet. Tentu saja, ketika para atlet bertanding, sorotan kamera mengarah pada setiap bagian tubuh atlet. Para penonton olimpiade melihat atlet beserta gelang uniknya. Gelang Power Balance mulai menjadi Bukti Sosial, bahwa gelang Power Balance adalah gebrakan baru.
Bukti sosial gebrakan Power Balance kian santer di masyarakat. Hampir 99% masyarakat mengenakannya. Kemudian, dalam tahapan selanjutnya, masyarakat mulai mengidentifikasi apakah bukti sosial tersebut merupakan hal publik atau privat. Tahap ini dinamankan Generalitas. Dalam proses ini, suatu gebrakan terklasifikasi menjadi dua, publik atau privat. Tergantung masyarakat menilai seperti apa. Masyarakat lebih merasa bangga apabila Power Balance dipamerkan, ketimbang menjadi momen pribadi. Mereka percaya bahwa gelang Power Balance adalah hal publik, ketimbang privat. Setelah proses klasifikasi, gebrakan kembali digunakan oleh si atlet apabila memang masih hype. Proses ini berlangsung terus menerus sampai atensi masyarakat teralih pada hal lain.
Menurut Berger, para pelaku pemasaran wajib mengidentifikasi sudah sampai mana fase dari produk yang akan ia pasarkan. Apabila sudah sampai residu sosial, maka para pelaku pemasar sebaiknya fokus pada fase selanjutnya, generalisasi. Namun, apabila telah mencapai proses generalisasi, sebaiknya fokus menciptakan bukti sosial. Begitu seterusnya.

Aplikasi Teori
Lebih dari tren dan siklusnya, Berger juga memperkaya Contagious dengan teori-teori spesifik lainnya. Salah satunya $100rule. Teori ini berpendapat bahwa ketika harga produk dibawah $100, maka gunakan papan diskon dengan angka nominal seharusnya. Namun, apabila diatas $100, gunakan persentase untuk menampilkan reduksi dalam iklan. Memang, praktik ini banyak sekali dipakai oleh para pemasar di Indonesia.
Meski begitu, dari sekian banyak teori, banyak strategi pemasaran yang cenderung ikut-ikutan Amerika. Contohnya, restoran dengan menggunakan pintu rahasia yang dijelaskan secara detail pada bab II. Di Depok, terdapat restoran ala penjara yang jelas sekali mengikuti teori tersebut. Eksterior dihiasi dengan jeruji besi, menggambarkan kesan misterius pada restoran tersebut. Dari segi teori sudah sama persis. Namun, tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang cenderung menilai restoran dari kelezatan jenis makanannya. Tetap saja, restoran tersebut sepi pelanggan. Di Amerika memang berhasil. Di Indonesia, belum tentu.
Secara keseluruhan, buku ini terbilang bagus. Saya membelinya di PaperClip OneBel Park Pondok Labu pada Januari 2018 dan itu pun stok terakhir di rak. Harganya pun Rp70.000 dan bukunya sudah menguning termakan zaman. Cukup untuk kantong mahasiswa buat menghabiskan waktu liburan.

Contagious (2013) – Jonah Berger

Selasa, Oktober 23

Organisasi Mahasiswa, Perlukah?



Ketika pertama kali masuk ke Universitas idaman dan menjalani rangkaian orientasi, mahasiswa baru selalu diperkenalkan dengan pertunjukkan organisasi mahasiswa (atau UKM, atau Perkumpulan, Himpunan, Liga, BO/BSO, baik organisasi intra maupun ekstrakampus, atau apapun sebutannya). Tarian, hiburan, musik, atau bahkan adegan menegangkan dipertontonkan secara gamblang di depan panggung. Semua terlihat menarik dan memanjakan mata. Banyaknya pertunjukkan menunjukkan banyaknya organisasi yang ada di universitas tersebut. Kita, sebagai mahasiswa, dibebaskan untuk memilih sesuai dengan minat dan bakat. Sebagian besar mahasiswa sangat antusias mendaftarkan diri untuk organisasi mahasiswa. Sementara, sebagian lainnya memutuskan untuk langsung pulang ke kost, atau ke rumah masing. Loh mengapa mereka tidak mau ikutan? Bukankah sia-sia, sudah masuk kampus, eh tidak diikuti kegiatannya. Atau, kita yang antusias, justru yang salah, apakah organisasi memang tidak perlu diikuti? Salahkah ikut organisasi? Untuk menjabarkan penjelasannya, penulis akan menjelaskannya sesuai dengan alasan yang sering diperbincangkan.

Pertama, alasan jangka pendek, yaitu "ikut
organisasi mahasiswa akan mendukung penilaian akademis, menaikkan IPK, dan memudahkan melamar kerja". Pertanyaannya, apakah itu benar?

Di beberapa universitas, ada yang kurikulumnya mewajibkan mahasiswa mengikuti
organisasi. Seberapa baik performa mahasiswa di organisasi tersebut nantinya akan memengaruhi skor penilaian di rapor akademis mahasiswa tersebut. Tentu, apabila kondisinya seperti ini, sudah jelas organisasi mendukung penilaian akademis dan organisasi wajib dihadirkan di lingkungan kampus. Namun, di beberapa Universitas, seperti UI contohnya, tidak memasukkan penilaian tersebut. Meski begitu, organisasi di UI masih digandrungi mahasiswa dan mahasiswa memiliki alasan lain untuk berkontribusi di organisasi tersebut.

Kedua, alasan jangka menengah, yaitu "mengikuti
organisasi adalah melatih softskill yang bisa digunakan untuk bekerja dan berumah tangga kelak." Softskill dalam hal ini penulis asumsikan sebagai nilai tambah yang dapat digunakan mahasiswa untuk mengembangkan diri, seperti kemampuan manajerial, komunikasi, dan negosiasi. Muncul pertanyaan, apakah kini mahasiswa mendapatkannya dengan mengikuti kegiatan organisasi mahasiswa?

Ketika mahasiswa mulai memasukkan nama dan nomor teleponnya dalam kertas pendaftaran
organisasi sampai terpilihnya ia sebagai anggota ORGANISASI, tentu mahasiswa disibukkan dengan seabreg kegiatan yang tiada henti, baik itu rapat, laporan, atau apapun itu. "Kegiatan" itu juga tak berlangsung mulus.

Sebagai contoh, ketika terpojokkan dengan keterbatasan dana,
organisasi kampus mencari bantuan dana ke pejabat kampus dalam bentuk hibah. Atau, jika masih belum terpenuhi, mereka mencari sumber pemasukan berupa "dukungan" alumni atau pengajuan "dukungan" sponsorship ke perusahaan. Namun, tentu, "dukungan" tersebut adalah hubungan timbal balik, dan organisasi wajib memberikan benefit untuk perusahaan dan alumni yang membantu. Ketika tidak memberikan benefit apapun, perusahaan dan alumni tersebut akan diprediksi tidak lagi memberikan "dukungan" ke depannya. Alternatif lainnya mungkin membudakki para mahasiswa yang baru masuk untuk berjualan donat gula dan kaos-kaos lucu. Akan tetapi, penghasilan dari kegiatan "pembudakkan" hanya bersifat sementara. Jika dilakukan terus menerus, mahasiswa baru akan tersadar dan membangun image organisasi sebagai “tempat pembudakkan massal.” Ke depannya, hal ini tentu akan membahayakan image dari organisasi itu sendiri.

Belum lagi, kondisi kurikulum akademis yang semakin menjerat.
Kurikulum didesain sedemikian rupa agar mahasiswa dibebani tugas yang sedemikian berat. Sehingga, mahasiswa akan terfokus pada tuntutan kurikulum dan tidak lagi sempat untuk memikirkan hal lain selain akademisnya, termasuk kegiatan di organisasi. Tak hanya itu, kegiatan mahasiswa pun semakin rumit. Alih-alih pembelajaran birokrasi kepada si mahasiswa penyelenggara kegiatan, para pejabat kampus dengan bebasnya mempersulit setiap kegiatan mahasiswa. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari mempertanyakan filosofi sampai teknis yang sedemikian terperinci. Namun, meski seperti ini, banyak mahasiswa yang mengakui mendapatkan pelajaran berharga atas sekelumit masalah yang dihadirkan dari kegiatan organisasi. Apabila seperti ini, maka kegiatan organisasi menjadi keharusan di kampus.

Ketiga, Alasan jangka panjang, "Networking." Mahasiswa memutuskan untuk ikut organisasi dalam rangka mencari teman sejawat yang siapa tau bisa berguna di masa depan, baik itu dijadikan partner bisnis, atau bahkan jodoh(?).

Melihat kondisi hubungan mahasiswa yang semakin beragam, alasan ini cukup dapat dipertimbangkan. Apabila mahasiswa
dalam organisasi sangat akrab dan solid, pertemanan mungkin dapat dijadikan landasan sebagai antisipasi untuk masalah yang timbul di kemudian hari. Nyatanya, beberapa mahasiswa menganggap hubungan organisasi hanya sebatas di organisasi. Di kelas kuliah, beda. Apalagi di pekerjaan, semakin beda atau bahkan menghilang bak ditelan bumi. Dan, sebagian beranggapan bahwa hubungan organisasi hanya sekadar "datang-kalau-butuh." Hal ini tentu tidak bisa dijadikan pembenaran bahwa organisasi dapat membantu untuk solusi atas permasalahan ke depan.

Keempat, alasan lainnya, yaitu "kenyamanan". Subjektif memang, tapi banyak diakui itu dijadikan pembenaran bagi mahasiswa yang kehabisan alasan dan masih memutuskan tetap berkontribusi di organisasi. Jika seperti ini, organisasi
tetap perlu diadakan ketika memberikan kenyamanan bagi mahasiswa.

Namun, ketika tidak nyaman, tau kan jawabannya?
Atau mungkin ada alasan lain?

Tri Sutrisno Adri, adalah mahasiswa manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia angkatan 2015 dan pernah aktif di beberapa kegiatan organisasi kampus.

Minggu, Desember 29

Pulang, Sebuah Novel



Pulang, Sebuah Novel


Judul : Pulang

Penulis : Leila Chudori

Penerbit : Kompas Gramedia

Tahun : 2013

Tebal : 454 viii

ISBN : 978-979-91-0515-8

Prancis, sebuah negara yang terkenal akan mode nya, dunia fashion dan wine nya sangat terkenal di seluruh penduduk di muka bumi, dan menara Eiffel di kota Paris, yang pernah masuk kedalam daftar keajaiban dunia, sudah menjadi ciri negara tersebut. Namun siapa sangka, satu – satunya restoran di bawah menara kebanggaan Prancis itu adalah milik Indonesia. Pasti penasaran, alangkah hebatnya, bagaimana rakyat Indonesia bisa sampai hebat seperti itu?

Disamping kehebatan itu, marilah kita kembali ke Tanah Air, masih ingatkah Anda dengan peristiwa Lubang Buaya? Setelah peristiwa di Lubang Buaya yang menewaskan para Jenderal Besar tersebut, menimbulkan banyak konflik di Indonesia, terutama ketidakstabilan politik. PKI pun dituding sebagai biang keladi dari peristiwa itu. Dengan begitu, banyak dari simpatisan PKI menjadi bulan – bulanan masyarakat, terutama di kota besar.

Keluarga Simpatisan PKI yang sebelumnya memiliki citra baik dimasyarakat, kini harus dicemooh, dan diterror. Belum lagi tekanan dari pemerintah yang menolak para keturunan PKI untuk bekerja di pemerintahan, dan pengiriman pasukan khusus untuk menangkap para keluarga PKI.

Lintang, anak dari lelaki politisi PKI di Indonesia dan seorang wanita berdarah Prancis, Vivine Devraux. Gadis kuliahan ini tinggal menetap bersama Ibunya, dan diceritakan pada novel ini, dia ingin menyelesaikan skripsinya yang bertemakan Tanah Kelahiran Ayahnya, Indonesia, yang sudah lama tak ia kunjungi, dan mau tidak mau dia harus ke sana. Dapatkah Lintang ke Indonesia? Bagaimana dengan ancaman terror pemerintah? 

Semuanya akan diceritakan dalam novel “Pulang” ini, mulai dari sepak terjang ayah Lintang, sampai detail tentang kehidupan Lintang ketika di Indonesia. Ceritanya mengundang decak kagum, dan tidak mudah ditebak. Penulis Leila S. Chudori tampaknya berhasil membuat pembaca merasa penasaran, dengan awal cerita yang tidak berkaitan, dan ujung yang saling menyatu, melengkapi satu sama lain. Pembaca juga akan lebih paham tentang sejarah Indonesia pada masa orde baru, karena cerita yang disajikan penulis sangat berkaitan erat dengan peristiwa sejarah Indonesia, seperti Peristiwa Lubang Buaya, dan Kisah Penembakan Misterius. Disini, penulis tampaknya mahir dalam mengemas cerita novel, dicampur dengan sejarah Indonesia, ditambahkan bumbu – bumbu romantisme remaja, belum lagi pemasukan aktivitas para politisi, semuanya “masuk”, dan sempurna. Dengan begitu, rasa nasionalisme pembaca juga akan tersentuh.

Novel ini juga diambil dari berbagai macam sudut pandang, ada bab yang menuju pada Lintang, Vivine Devraux, dll. Namun, meski begitu, cerita tetap berjalan. Tidak putus ditengah, berhenti sementara, lalu maju seperti novel lain.

Latar tempat, baik di Prancis maupun di Indonesia, juga dideskripsikan dengan sangat jelas, mulai dari Paris, Champs-Elysees, sampai Monas, Kampung Melayu diceritakan. Tak tanggung – tanggung, setiap latar tempat dikemas penulis seolah tempat itu sangat menarik, semua aspek dimasukkan. Membuat siapapun yang membaca, ingin meruntut ulang reka kejadian yang ditulis di novel. Contohnya ketika Peristiwa 13 Mei, berada di Tri Sakti, Lintang berada di lantai dasar menunggu sang pujaan hati.

Setiap bab juga dilengkapi dengan gambar abstrak,sehingga menimbulkan keingintahuan para pembaca akan cerita dalam bab tersebut. Juga gambar tersebut merupakan hasil karya dari seniman terkenal Indonesia.

Disamping kelebihan, tentunya novel ini juga memiliki kekurangan, diantaranya awalan cerita tdak begitu jelas. Samar – samar, mungkin bertujuan untuk menimbulkan rasa ingin tahu, namun terlalu samar, sehingga membuat pembaca bingung, “mau kemana cerita ini akan menuju?”. Akan lebih baik lagi, jika penggambaran awal cerita tidak terlalu jauh, misalnya, buku – buku berideologi komunis, tampaknya tidak usah diceritakan terlalu detail.
Novel ini sangat bagus untuk dibaca para remaja, karena dari novel tersebut, selain dapat menikmati alur cerita yang “menegangkan”, juga dapat belajar mengenai sejarah Indonesia, yang mana buku – buku teks sekolah menerangkan hal ini dengan cara yang terbilang membosankan. Hanya cerita, penggambaran cerita, sedikit gambar, tanpa sentuhan perasaan. Namun dengan novel ini, perasaan para remaja juga dipakai dalam pembelajaran, bayangan mengenai peristiwa dan keadaan pada masa itu, dan aspek  - aspek belajar lain yang dapat mengoptimalkan pembelajaran.

Kepada para pembaca yang ingin bersantai, ketika hobi membaca menjadi kebiasaan sehari – hari, novel ini sangat baik untuk dibaca. Meski terlihat berat, namun sebetulnya, novel ini sangatlah ringan, kata – katanya sangat familiar, dan banyak istilah asing yan membuat kita lebih “merasakan” alur cerita novel tersebut.

Dan juga kepada para pencinta sejarah Indonesia, novel ini sangat baik untuk dijadaikan referensi, karena disamping terdapat detail tentang sejarah Indonesia, novel ini juga mengkaji hubungan Indonesia dengan Prancis pada masa lampau.  

Kamis, Desember 26

Selimut Debu, Menyingkap Afghanistan



Selimut Debu, Menyingkap Afghanistan

Judul : Selimut Debu
Penulis : Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia
Tahun : 2011
Tebal : xiii + 461 
ISBN : 978-979-22-7463-9

Apa yang tersirat dalam pikiran anda ketika mendengar kata “Afghanistan” ? Mungkin yang akan terbayang hanya perang, Taliban, bom, senjata, kelaparan, dan hal lainnya yang menggambarkan suatu negara yang amat miskin, yang biasa terlihat di Media. Nyatanya, tak hanya itu, ternyata dibalik itu semua, Afghanistan menyimpan sesuatu yang mungkin belum terjamah. Dibalik perangnya yang berkecamuk, orang Afghanistan ternyata memiliki budaya, bahwa setiap mehman (tamu) harus dilayani dengan tulus, meski mereka sendiri harus berkorban. Dan juga siapa sangka, dibalik sunyinya gurun pasir Afghanistan, dulunya merupakan pusat pengajaran umat Buddha diseluruh dunia, dapat dibuktikan dengan adanya patung – patung Buddha berlapis emas dan permata yang tersimpan didalam bukit Bamiyan, dan juga Danau dekat lembah Yakawlang, yang menurut legenda masyarakat setempat adalah danau yang berasal dari peristiwa  Ali bin Abi Thalib yang berperang melawan seekor naga yang bersarang di lembah tersebut.

Afghanistan memang terkenal dengan perangnya, perang Afghanistan berawal sejak zaman Uni Soviet berkuasa, dimana Presiden Najibullah, Presiden Afghanistan kala itu medukung secara penuh gerakan Uni Soviet, namun menolak untuk masuk ke dalam kekuasaan negara Uni Soviet, meski letaknya bertetangga. Uni Soviet berusaha mengubah Afghanistan menjadi Komunis, dan rakyat menolaknya dengan membentuk Tentara Mujahiddin. Namun, sekarang Uni Soviet telah runtuh, dan rakyat Afghanistan kembali menjadi Muslim yang taat.

Selain Perang dengan Uni Soviet, Kaum Taliban yang setia dengan nilai – nilai Islam konservatif beraliran Syiah, juga menimbulkan konflik sampai saat ini. Adanya perbedaan paham antara Islam Syiah dan Sunni, seringkali memakan korban jiwa, bahkan Anak – Anak yang bersekolah pun menjadi korbannya. Dan karena itu pula, banyak bantuan dari luar negeri susah masuk ke daerah pedalaman Afghanistan. Organisasi Sosial yang dananya disokong oleh negara – negara maju, kebanyakan hanya habis untuk asuransi untuk membiayai antisipasi serangan Taliban dan biaya transport para pegawai, bukan untuk membantu rakyat Afghanistan yang terbelakang, objek sesungguhnya. Tingginya korupsi dan berbelitnya birokrasi juga tak jarang menambah tersendatnya aliran dana sosial tersebut.

Selain itu, buku ini juga mendeskripsikan kehidupan para suku di Afghanistan, mulai dari Hazara, Tajik, Uzbek, Pashtun, yang masing – masing mempunyai karakteristik tersendiri, dan juga menjelaskan kehidupan rakyat Afghanistan yang merantau di Iran dan Pakistan.

Buku ini juga ditulis oleh Agustinus Wibowo yang merupakan salah satu dari penulis travelogue yang tergabung dalam komunitas penulis di Jakarta. Karya penulis juga sering dimuat dalam Kompas.com dan karena itu pula buku ini telah disunting oleh penulis Kompas, tentunya suntingan mereka sudah tidak diragukan lagi kualitasnya.

Apabila anda membaca buku Selimut Debu ini, seolah anda benar – benar memasuki Afghanistan. Penulis sangat mahir dalam menggambarkan detail tempat, mulai dari asal muasal tempat, hingga kondisi sosial masyarakat yang dikemas dalam percakapan bahasa Afghanistan. Selain itu, Afghanistan yang mempunyai peranan penting dalam peradaban kuno, melahirkan banyak pujangga, dan karya pujangga tersebut dikutip dalam setiap bab dalam buku ini, yang tentu saja kita sebagai masyarakat Indonesia jarang menemukannya dalam buku manapun. Kata – katanyapun sangat komunikatif, penulis menyajikan cerita dengan bahasa yang tidak terlalu baku, tetapi tidak juga terlalu formal, sangat cocok dibaca pada waktu senggang. Juga terdapat istilah dalam bahasa Afghanistan yang disisipkan dalam cerita, terutama untuk percakapan sehari hari dan salam perkenalan, sehingga dapat menambah kosakata kita dalam bahasa asing. Keistimewaan buku ini, meski harganya lumayan terjangkau, namun terdapat halaman khusus dengan menggunakan photopaper, yang menampilkan foto – foto keadaan masyarakat di Afghanistan. Gambarnya pun sangat jernih, dan tergolong high resolution.

Tentunya buku ini juga mempunyai sedikit kekurangan yang tampaknya perlu dievalasi, seperti cerita terkadang tidak berurutan, sehingga membingungkan pembaca, lanjutan dari kota A, mengapa harus ke kota C terleih dahulu, bukan ke kota B. Penyuntingan ulang dengan menyusun sesuai kronologis cerita akan membuat buku ini jauh lebih baik. Dan juga kurangnya detail tentang peta Afghanistan yang disertakan, meski telah dijelaskan dengan kalimat “saya hendak pergi ke...”, namun akan lebih baik jika dalam setiap cerita ditunjukkan dengan infografis dimana letak kota yang dideskripsikan dalam cerita tersebut, sehingga memudahkan pembaca membayangkan tentang letak kota, dari bab sebelumnya, maupun ke bab setelahnya.

Buku ini sangat baik dijadikan referensi bagi para backpacker yang hendak pergi ke Timur Tengah dan sekitarnya, karena didalamnya terdapat detail tentang medan perjalanan yang tentunya merupakan aspek penting dalam melakukan suatu perjalanan, dan buku ini juga terdapat bahasa sehari – hari, yang dapat memudahkan komunikasi dengan penduduk setempat. Selain itu, disini juga terdapat detail tentang objek wisata yang belum terjamah di daerah Afgahnistan dan negara – negara sekitarnya, seperti Tajikistan, Turkmenistan, dan Pakistan. 

Juga baik pula diperuntukkan pada para pengamat sosial, karena berisi secara mendalam kondisi masyarakat Afghanistan, konflik yang melanda negara tersebut, sejarah peradaban kuno Afghanistan, dan juga budaya dari suku – suku asli Afghanistan yang juga mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat Afghanistan. Disamping itu, dalam buku satu kondisi masyarakat tidak hanya dipandang dalam satu sisi, melainkan dari berbagai sisi. Contohnya adalah kondisi rakyat Afghanistan yang keras dan cenderung konvensional, dipandang menurut sisi rakyat Afghanistan itu sendiri, rakyat Iran dari negara tetangga, dan para ekspatriat dari negara luar yang menetap di Afghanistan.